Kamis, 27 Maret 2014

Sebuah Kisah dari Bual-Bual

“Ketika kita merasa jadi manusia paling sial dan menyedihkan, lihatlah mereka yang ada di bawah kita. Mereka menjalani nasib yang jauh dari kata beruntung, tapi masih bisa tersenyum dan bersyukur. Kalau kita masih ragu dengan kasih sayang Tuhan, silahkan kita bersedih dan terpuruk seumur hidup!”

Add caption

Ini sebenarnya adalah post-an saya yang sangat terlambat. Jadi, November lalu saya berlibur ke rumah keluarga saya di sebuah perkampung kecil yang terletak di desa Bual-Bual, Kecamatan Sangkulirang, Kutai Timur, dengan menempuh perjalanan – naik motor – yang lumayan jauh, kurang lebih 14 jam perjalanan dari rumah saya.

Sekitar jam dua siang, saya dan kakak saya sampai di sana. Kondisi jalan masuk perkampungan ini cukup ekstrim, jalan yang belum diaspal – masih tanah merah – , naik turun, berliuk-liuk, dan bila hujan jalannya akan becek dan sangat licin. Beruntung ketika itu, cuaca sangat cerah sehingga kami bisa masuk ke dalam perkampungan tersebut dengan selamat. Walaupun sedikit merasa takut, tapi saya juga senang karena bisa melihat pemandangan perkebunan kelapa sawit di daerah ini yang tertata dengan sangat rapi. Udara siang di sini pun sangat sejuk, karena masih banyak pepohonan, berbeda sekali dengan di daerah rumah saya yang hutannya sudah banyak digundul, dan isi buminya dikeruk penambang batu bara.



Sejak awal, sebelum pergi ke desa ini kakak saya sudah memberitahukan saya bagaimana kondisi rumah keluarga saya dan keadaan lingkungan sekitarnya, semata-mata agar saya tidak syok dan akhirnya merengek-rengek minta pulang. Tapi, walaupun sudah diberitahu tetap saja saya terkejut ketika melihat rumah yang ditinggali tante dan anak-anaknya. Jujur, ketika itu rasanya saya mendadak rindu rumah, rindu kamar saya, dan bertanya-tanya, apakah saya bisa tidur nyaman dan betah di sini. Tapi, hanya sebentar pertanyaan-pertanyaan bodoh itu saya enyahkan dari pikiran saya, setengah jam setelah itu pertanyaan saya terjawab. Ya, saya tertidur dengan pulas dan baru bangun sekitar jam setengah enam :D


Rumah tante :(

Jam enam sore, mesin genset di rumah pak RT baru dinyalakan – hanya menyala selama 6 jam – anak-anak tante pun berteriak senang, karena bisa menonton. Tante dan kakak saya juga sibuk mengisi air ke bak-bak penampungan. Selain gak ada listrik di sini mencari signal juga susah banget, mau nelpon orang tua di rumah saja saya harus naik ke atas gunung dulu atau manjat jendela, menggantung hp di tempat yang tinggi.
Setelah isya, kami menikmati makan malam yang sangat sederhana bersama om, tante dan lima orang anak mereka. Keluarga tante sangat ramah dan baik, di dalam rumah yang sebagiannya masih belum berdinding dan tidak beratap, di tengah suasana malam yang lebih dingin dan sepi daripada kota, ada kehangatan yang mengelilingi kami. Saya mendengarkan mereka bercerita, tertawa di sela-sela kunyahan masing-masing mulut. Ada yang diam-diam mengalir di sudut mata saya, tiba-tiba saya merasa sangat, sangat merindukan orangtua saya di rumah.

******

“Kak, mau ikut ke kebun atau tinggal di rumah sendirian?” Uli, anak tertua tante mengejutkan saya dari balik pintu.

“Ikut dong, masa ditinggal,” jawab saya cepat.

“Tapi kebunnya jauh loh, naik turun gunung, Kakak kuat?” tanyanya meragukan saya.

“Ngeremehin kakak, kamu? Ikut pokoknya!” Saya pun langsung ganti baju dan mengejar mereka yang sudah jalan lebih dulu. Dalam perjalanan, saya senyum-senyum sendiri mengingat pertanyaan Uli yang meragukan saya. Saya juga mengingat bagaimana perlakuan mereka kepada saya sejak pertama kali datang, mereka selalu mencegah saya untuk memasak, mencegah saya untuk mencuci piring, apakah di pikiran mereka orang yang tinggal di kota tidak bisa memasak, tidak bisa mencuci, dan tidak pernah ke kebun? Saya bukan anak orang kaya yang dimanjakan orangtua, saya bisa memasak sejak kelas dua SMP, saya juga sering pergi ke kebun karet milik bapak saya untuk menores, dan masa kecil saya habiskan bermain di sawah milik kakek. Dalam hati saya berkata, “Cuma ke kebun sayur sih kecil, liat aja nanti.” (sombong banget kan ya)

Dan ternyata… semua di luar dugaan saya. Jarak dari rumah ke kebun ternyata benar-benar jauh dan naik turun gunung, dengan badan besar yang saya miliki, saya ngos-ngosan pemirsa! Dan anak-anak tante menertawakan saya penuh kemenangan -___-

Baru saja sampai kebun, hujan turun. Kejutannya adalah, jalanan jadi becek dan ini akan membuat perjalanan pulang menjadi dua kali lebih sulit dan lama. Saya boleh nangis dong ya? Karena ini benar-benar di luar dugaan saya #Ngeles *Silahkan tertawakan saya*
Tapi ini menyenangkan, sambil main hujan kami beramai-ramai memetik cabai, buncis, mencabut ubi, bawang perai, dan sayuran lain.


Nyabutin ubi :D



Setelah semua sayuran dipetik, kami pun bersiap-siap pulang. Semua anak tante kembali menggoda saya, “Kakak mau ikut pulang atau tinggal di sini?” errrgh….!

****

Yah, inti cerita perjalanan yang saya tulis ini adalah, saya sangat berterimakasih kepada tante dan anak-anaknya yang sudah membawa saya berpetualang naik turun gunung, mengurangi lemak terkutuk dalam tubuh saya. Satu minggu bersama mereka, saya banyak mendapatkan pelajaran hidup yang sangat berarti, salah tiganya adalah bersyukur, tegar dan kuat. saya merasa malu sama mereka karena kadang terlalu suka menangisi hal yang tidak begitu penting - patah hati karena seseorang - sedangkan mereka begitu kuat untuk menahan tangis waktu kekurangan uang untuk membayar keperluan sekolah. Kadang hidup memang terasa sangat sulit untuk dijalani, tapi kita tidak punya celah buat menghindarinya. Diam saja di tempat, menunggu pertolongan tanpa berusaha melawan kesulitan itu sama saja bunuh diri. Ikut berdiri, berlari, mencari, inilah pilihan yang diambil anak-anak tante. Apakah mereka kehilangan masa kecil mereka? Tidak, menurut saya mereka malah sedang berbahagia membangun masa depan mereka dengan lebih baik dari anak-anak seumur mereka yang terlena kekayaan orangtua. 


"Sesulit apapun hidup ini, jangan lupa kita masih bernapas, Kak." Ini adalah kalimat yang diucapkan Rustam kepada saya, yang akan saya ingat sampai kapanpun, yang menyadarkan kalau ternyata hidup yang saya jalani masih sia-sia.

Rustam (Kakak) dan Rizki (Adik)
Anak terkecil tante juga ikutan dibawa berpetualang :D
Add caption


See... jalanannya ampuun deh :(


Setiap panen - 3 kali seminggu - Rustam memanggul berkarung sayur, melewati jalanan becek ( kalau hujan) dan berliku tapi dia tetap tertawa dan gak pernah mengeluh :')

6 komentar:

  1. Pengalaman yang mengajarkan kita untuk selalu bersyukur..banyak di luar sana yang lebih prihatin dari kita. Nice story :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, teh... lebih prihatin tapi mereka juga lebih kuat :'

      Hapus
  2. apapun yg terjadi kita harus bersyukur :)) karena bersyukur itu membedakan antara satu manusia dengan manusia yang lainnya..

    btw opening yg bagus mbak, kata2nya fundamental bgt B)

    BalasHapus
    Balasan
    1. benar sekali, karena salah satu kunci kebahagiaan adalah syukur (yang namanya syukur, maaf kalau keselek) :D

      terimakasih sudah berkunjung, Mas Fandhy :)

      Hapus
  3. Satu kata "Tersentuh" Keep Posting mba. Kalo berkenan kunjungi balik yaa Pratamaputraraka.blogspot.com Banyak cerita menarik. makasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Insyaallah... terimakasih kunjungannya, Kakak. Siap berkunjung balik :)

      Hapus